MENYATUKAN MASYARAKAT KUDUS MELALUI TRADISI DANDANGAN

Kirab-dandanganMasing-masing daerah mempunyai tradisi yang berbeda untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Jika di Semarang terkenal dengan tradisi Dugderan dan Yogyakarta terkenal dengan tradisi Padusanya, di Kudus sebulan sebelum masuk bulan puasa terdapat tradisi Dandangan. Tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun dan turun temurun ini atas warisan dari Sayyid Ja’far Sodiq atau yang sering dikenal dengan sebutan Sunan Kudus.

Dahulu, tradisi ini bermula pada saat masyarakat mendatangi masjid Menara Kudus untuk mendengarkan pengumuman dari sesepuh masjid mengenai kapan dimulainya hari pertama puasa Ramadhan. Pengumuman diawali dengan permulaan menabuh beduk yang diterpasang Menara, lalu beduk tersebut kedengarannya menimbulkan suara “dhang…dhang..dhang”. Bunyi beduk itulah yang memunculkan kata dhandhang, sehingga kebiasaan tersebut dikenal dengan tradisi Dandangan.

Zaman terus berkembang, kini tradisi Dandangan tidak hanya sebatas menunggu beduk Menara Kudus ditabuhkan menjelang bulan Ramadhan. Namun sudah menjelma menjadi event yang tidak hanya dimiliki oleh masyarakat muslim saja, tetapi masyarakat non-muslim juga menyambutnya dengan suka cita. Selama tiga pekan menjelang Ramadhan, jalanan di sekitar kompleks masjid Menara dan makan Sunan Kudus, tumpah dibanjiri oleh para pedagang yang menjajakan segala macam barang dagangan, mulai dari makanan, pakaian, mainan anak-anak, aksesori, hingga kebutuhan selama beberapa minggu.

Bebarapa tahun terakhir, Pemda kabupaten Kudus rutin mengadakan kirab budaya sebagai penanda resmi dibukanya tradisi Dandangan. Dalam kirab tersebut ditampilkan kesenian, kebudayaan dan hasil bumi dari masyarakat Kudus. Dandangan menjadi momentum untuk menyatukan masyarakat Kudus tanpa membeda-bedakan agama.

Tinggalkan komentar